Sistem Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Dalam Pajak Bumi Dan Bangunan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
Abstract
Di Indonesia, pajak atas tanah dan hasil bumi mempunyai sejarah yang panjang dan dalam jangka panjang pula telah mengakibatkan apa yang disebut trauma dan sindroma pajak. Karena sejarahnya begitu, jenis pajak-pajak tadi boleh dikatakan tidak pernah ditangani secara mendasar setelah kita merdeka. Akibatnya justru menimbulkan pajak berganda dan tumpang tindih
Beberapa permasalahan perpajakan yang timbul terutama dalam hal penetapan NJOP adalah apa yang dijadikan dasar sistem penetapan NJOP dan Faktor-faktor yang menentukan sistem klasifikasi NJOP serta bagaimana penyelesaian Kasus Wajib Pajak atas penetapan NJOP.
Dalam menetapkan NJOP sebagai dasar pungutan PBB hendaknya KPP setempat berkoordinasi dengan pemerintah kota. kewenangan menetapkan NJOP merupakan kewenangan KPPBB. Hal ini merupakan kewenangan yg diatur berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994. Walaupun besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan nilai jual obyek pajak cukup besar, maka dalam menetapkan nilai jual, Menteri Keuangan banyak mendengar pertimbangan Gubernur setempat.
Pengertian nilai-nilai yang disebutkan nilai perbandingan harga dengan obyek lain sejenis, nilai perolehan baru, dan NJOP pengganti, disini harus memperhatikan kondisi wajib pajak serta kondisi perekonomian nasional yang berfluktuasi keadaannya.
Selain penetapan NJOP juga terdapat hal lain yang selalu muncul berkaitan dengan penetapan NJOP, hal lain yang mucul tersebut adalah masalah pengajuan keberatan atas penetapan NJOP. Sebagai dasar hukum pengajuan keberatan adalah Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang PBB yang menyatakan bahwa Wajib Pajak (WP) dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Dengan ini dalam pengajuan keberatannya diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak.
Bila pengajuan keberatan tidak menemukan solusi maka boleh diajukan upaya hukum Banding. Dengan dihapuskannya dasar hukum banding dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 pasal 17, maka acuan banding mengikuti Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984).
URI
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16325http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/36827
Collections
- SP - Ilmu Hukum (fixed) [1340]